ketika 'budaya' tawuran (benarkah ini disebut budaya?) disangkutpautkan dengan rencana perubahan kurikulum, ada pertanyaan yang muncul-benarkah ini dua hal yang tepat? Maksud saya benarkah ini yang memang menjadi alasan untuk perubahan kurikulum dan apakah tepat solusi yang ditawarkan, yaitu dengan menghapus matapelajaran IPA dan IPS?
Kedua pertanyaan ini juga yang menggantung saat saya membaca sebuah soal Pekerjaan
Rumah yang diambil dari buku yang bernama LKS. Pertanyaan itu adalah “Rumus gigi anak
adalah....”. Pertanyaan ini semestinya tidak akan aneh jika ada di LKS
untuk siswa kelas 2 SMP, tetapi tidak.
Pertanyaan ini muncul di buku LKS kelas 1 SD. Sekali lagi kelas SATU SEKOLAH
DASAR! Tidak cukup mengelus dada untuk menghadapi kenyataan ini. Masa depan
sebuah bangsa dipertaruhkan di sini. Ini bukan 'lebay' seperti yang dikatakan
anak muda sekarang. Ini memang sedang berlangsung sekarang.
Pernahkah dibayangkan
oleh pembuat LKS ini (dan guru yang memberi LKS ini) bahwa untuk empat kata
dalam pertanyaan di atas, otak anak usia 5 – 7 tahun harus berulang kali
mencerna kata-kata asing yang belum dan tidak seharusnya sudah, dikenal
otaknya. Apa yang dimaksud 'rumus', mengapa disebut gigi anak, mengapa rumus
gigi, apa maksud angka-angka itu, dan banyak lagi yang lainnya. Padahal anak
seusia itu seharusnya baru DIKENALKAN – MENGENAL' tubuh mereka dengan
menyenangkan bukan MENGHAFAL tubuh mereka dengan kening berkerut.
Pertanyaan di atas
barangkali hanya salah satu dari pertanyaan 'sulit' yang ada di buku sekolah
anak yang baru mulai mengenal sekolah. Ada ratusan pertanyaan aneh lain yang
ada. Dan lebih anehnya, LKS dengan pertanyaan-pertanyaan semakin aneh adalah
LKS yang semakin diminati. ANEH!
Tak ada kaidah hirarki
pengetahuan yang diberikan oleh LKS ini. Pengetahuan seperti ditumpahkan dari
karung carut marut, apa saja yang sempat diwadahi dalam beberapa lembar kertas,
itulah yang dicetak dan diberi judul LKS. Bisa dibayangkan keruwetan yang
terjadi di otak anak SD menghadapi pelajaran di sekolahnya karena sumber yang
tidak hanya ruwet tapi juga dipaksa masukkan ke otaknya. Oleh karena itu seharusnya
sebagai orang tua kita dapat menyadari bahwa jika ada keruwetan dari hasil
pekerjaan anak kita, bukan anak kitalah yang ruwet akan tetapi mereka sedang
menelan sumber keruwetan. Tapi kebanyakan dari kita tidak demikian. Kita lebih
suka ikut memaksa mereka untuk menelannya.
Anak-anak akhirnya
terpilah menjadi kelompok-kelompok. Kelompok pertama adalah anak-anak yang
dengan kapasitas otak lebih atau dipaksa lebih, anak-anak ini akan (atau
dipaksa) melahap LKSnya meski dia telah kehilangan hak otaknya untuk bekerja
sesuai umur. Mereka akan dengan tepat menjawab pertanyaan-pertanyaan bahkan
dengan pertanyaan aneh model di atas meski mereka belum tentu tahu maknanya.
Kelompok kedua adalah
anak biasa saja, yaitu anak-anak yang tidak mau atau belum mau mencerna
kata-kata asing dan berat serta pertanyaan aneh, tetapi sesekali mampu mencerna
saat mereka memaksa (atau dipaksa) untuk mencerna juga. Kelompok ketiga adalah
anak yang sama sekali tidak mau mencernanya, orang tua dan guru biasanya sudah
menyerah dan menggolongkan mereka anak yang GAGAL.
Pengelompokkan ini
memang sengaja tidak diberi label anak pandai dan bodoh (maaf, biasanya
dihaluskan menjadi tidak pandai, tapi itu sebenarnya tidak terlalu banyak
memabntu). Pikirkan sekali lagi jika kita akan memberi labelnya demikian.
Dengan kondisi di atas, bukankah justru bukan anaknya yang layak untuk kita
beri label bodoh, akan tetapi kitalah yang bodoh untuk memberikan fasilitas
pembelajaran hingga mereka menunjukkan bahwa mereka sebenarnya pandai bahkan sangat
pandai.
Hal yang menjadi
pertanyaan adalah berapa jumlah anak kelompok pertama dibandingkan dengan
kelompok ketiga. Seperti apa fakta yang kita hadapi? Banyak, bahkan teramat
banyak anak yang bosan dengan pelajaran yang tidak bisa dicerna. Pengetahuan hanyalah
piala dalam kotak kaca tanpa kunci bagi mereka. Mereka akan bosan atau fobia
dengan pengetahuan dan matematika atau bahkan seluruh mata pelajaran. Mata
pelajaran apapun mejadi tidak menarik bagi mereka. Sekolah bukan untuk
mendapatkan pengetahuan tetapi tempat berkumpul dengan teman dengan nama grup
yang sama.
Pengelompokkan di atas,
baik disadari atau tidak telah dilabelkan pada dahi setiap anak. Anak-anak
kelompok pertama adalah anak yang akan masuk dalam kelas-kelas ekslusif dengan
berbagai nama indahnya. Lainnya silakan menunggu keberuntungan untuk masuk ke
kelas eksklusif atau paling tidak sedikit high class atau tetap berada di
pinggir. Anak-anak kelompok dua dan tiga mulai melabeli dirinya sebagai anak
yang tidak dapat menerima pelajaran di sekolah.
Tidak mungkin juga anak-anak dari kelompok pertama juga mengalami masa
jenuh dan bergabung dengan kelompok kedua dan ketiga. Semua anak ini akan mulai
mencari kompensasi, baik positif ataupun negatif. Kompensasi paling negatif
adalah mereka memposisikan diri sebagai oposisi kelas eksklusif dan merasa
menjadi 'anak nakal'. Bukankah tidak mungkin tawuran adalah salah satu bentuk
dari tindakan kompensasi negatif ini?
Sekali lagi, mari kita
bertanya siapa sebenarnya yang bodoh? Helalah nafas panjang dan hembuskan
kuat-kuat sambil bilang WOW! Karena memang WOW! Masa depan bangsa
kita memang sedang ditentukan oleh sumber belajar yang dikerjakan dengan
serampangan. Walaupun memang tidak semua LKS seperti itu, tapi berapa
jumlahnya?
Ini bukan tidak dikeluhkan
oleh orang tua murid kita. Beberapa kasus yang mencuat biasanya berkait dengan
SARA dan etika. Masalah konten barangkali tidak pernah menjadi kasus yang
merebak di masyarakat. Tapi tengoklah dunia maya, facebook, twitter dan media
lain, berisi keluhan orang tua tentang
buku dan pekerjaan rumah anak-anak SD yang terlalu berat untuk usia anak.
Biasanya mereka akan berkata “kurikulum sekarang terlalu berat”. Tapi benarkah
kurikulumnya yang berat?
Seandainya para orang
tua mau membaca kurikulum SD, mereka akan melihat sebenarnya tuntutan kurikulum
tidak seberat apa yang dituntutkan oleh pekerjaan rumah yang disodorkan
putra-putri mereka. Jadi apa masalahnya?
Ambil contoh satu standar kompetensi untuk pelajaran IPA di kelas 2 SD
adalah “ Mengenal bagian-bagian utama hewan dan tumbuhan di sekitar rumah dan
sekolah melalui pengamatan ”. Sederhana
bukan? Saking sederhananya sampai tidak tahu dimana batas yang diinginkan oleh
kalimat ini. Maka tidak heran jika penulis LKS menuliskan pertanyaan seperti
ini, “belalang bernafas dengan....” hey, hallooooo ini anak kelas dua SD yang
bahkan mungkin baru tahu nama paru-paru!
Keadaan ini
takterkoreksi karena kurikulum digembar-gemborkan untuk dapat disusun pada
setiap satuan pendidikan atau dengan kata lain sekolah berhak untuk mengartikan
kalimat itu sesuai dengan pemahamannya. Jika 'sang penyusun' kurikulum ini
tidak terbiasa dengan kebebasan ini, mereka justru berbalik menjadi sangat
terikat pada 'contoh' kurikulum, buku, dan bahkan LKS. Parahnya, jika ternyata
tempat mereka bergantung justru tak juga memaknai kalimat sakti dalam standar
isi dengan benar sesuai dengan pembuatnya.
Pada kondisi ini
sepertinya perlu jika kita memberi satu rekomendasi untuk bsnp yaitu
menerbitkan anak standar isi dalam bentuk yang lebih terlihat jelas batasan
dari setiap tingkat pendidikan.
Baiklah kita lihat lagi
arah pembicaraan kita. Buku teks. Beberapa kali pusat perbukuan mengadakan
penilaian pada buku teks. Semestinya dengan penilaian ini dihasilkan buku-buku
yang terstandar. Artinya, mestinya takapalah jika buku-buku ini dijadikan acuan
dalam menyusun kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Namun, pikiran pesimis
saya bertanya, benarkah ini sudah dilakukan sebagaimana yang kita inginkan?.
Baiklah buang pikiran pesimis ini. Ada pertanyaan yang lebih penting, bagaimana
dengan pengawasan buku yang ada di pasar? Bagaimana kecenderungan pemilihan
buku untuk menjadi buku teks yang digunakan di sekolah? Takperlu kita bicarakan
segi bisnisnya tetapi hal yang perlu kita pedulikan adalah seperti yang
dijelaskan di atas, semakin kompleks dan rumit pengetahuan yang diberikan, akan
semakin tinggi nilai preferensinya. Itu dia!
Hal yang lebih perlu
kita perhatikan adalah LKS. Media ini seperti majalah semesteran. Pusat
perbukuan pun tak menangani masalah ini. Bahkan juga tidak ada tekanan pada
pihak manapun untuk tidak menggunakannya. Media ini jauh lebih bebas tumbuh
tanpa batasan. Seolah-olah pusat perbukuan salah bidik karena justru media ini
lebih banyak digunakan di sekolah daripada buku teks yang telah dengan mahal
dinilai di pusat perbukuan.
Benar, LKS memang tidak
ada yang mengawasi. Bahkan kita baru ribut jika suatu masalah sudah diangkat di
televisi nasional. Tapi takpernah ribut jika anak kita dicekoki oleh
pengetahuan yang seharusnya bukan bagian mereka. Malah, orang tua menyebut anaknya bodoh jika tak
mampu menghafalnya.
Salahkah orang tua? Jika
kita orang tua murid, pasti tahu jawabannya. Bukan masalah salah atau tidak
salah, tetapi masalahnya adalah apa yang bisa kita lakukan pada ketakutan
kita, bahwa anak kita tidak dapat
mengerjakan ujian akhir nasional dengan pertanyaan seperti itu!
Satu pemikiran sederhana
yang muncul adalah, pangkas saja pelajaran IPA dan IPS pasti masalahnya
selesai! Semudah itukah? Sepertinya kita melihat bahwa pengaliasan mata
pelajaran sebagai materi kognisi sudah mendarah daging. Apapun pelajarannya,
maka akan muncul buku teks dan LKS yang akan membeberkan sejumlah fakta yang
dimaknai sebagai bahan hafalan untuk otak anak kita. Takkah kita takut justru
pelajaran seperti budi pekerti dan pendidikan karakter menjelma, turun
derajatnya menjadi kalimat-kalimat klise yang dihafal.