Minggu, 06 Oktober 2013

Salinan Permendikbud No 68 th 2013 Tentang KD dan Struktur Kurikulum

Menyimpan berkas berikut agar tak susah nyarinya

  1. Kompetensi Dasar untuk SMP-MTs Ada di sini: Salinan Permendikbud No 68 Th 2013: KD dan struktur Kurikulum SMP Untuk kompetensi IPA mulai halaman 47. Untuk kompetensi kimia sudah ku-highlight
  2. Kompetensi Dasar untuk SMA-MA ada di sini; Salinan Permendikbud No 68 Th 2013: KD dan struktur Kurikulum SMA. . Untuk Kompetensi Kimia mulai halaman 165

Apa yang menarik?
  1. Di kelas IX terdapat KD mengenai atom, molekul, ion, partikel penyusun materi dan hubungannya dengan sifat bahan. Ini ada pada KI3 tetapi tidak ada di KI4. Artinya barangkali hanya menjelaskan pengetahuan tentang KD tersebut tetapi tidak untuk kompetensi atau keterampilan berfikir tingkat yang lebih tinggi. 
  2. Di tingkat SMP, mudah-mudahan tidak perlu lagi diartikan siswa ditumpahi materi hingga hafalan tabel periodik, penamaan senyawa, dan persamaan reaksi kimia, karena kalau dilihat dari KD-nya tidak 'sampai' pada tingkatan tersebut, sebagaimana yang terjadi pada fakta buku IPA yang ada di pasaran yang menerjemahkan kurikulum 2006 (KTSP)
  3. Teori atom di kelas X (SMA) kelihatannya harus dibahas dengan tuntas hingga teori kuantum, karena KD tentang atom dan tabel periodik tidak muncul lagi di kelas berikutnya.
  4. KD tentang ikatan kimia juga hanya muncul di kelas X. apakah ini juga berarti di kelas X harus dibahas tuntas tentang  ikatan kimia? sampai batas mana guru harus menerangkan teori ikatan? (meskipun KD hanya menyebutkan teori domain elektron. cukupkah bekal ini?)
  5. KD tentang reaksi redoks hanya muncul di kelas X. di kelas XII membicarakan elektrokimia (aplikasi redoks). dimana akan ditempatkan keterampilan untuk penyetaraan reaksi redoks yang lumayan rumit itu?
Btw, sudah sejak kurikulum KBK materi tentang senyawa kompleks takmuncul, kenapa?
    

Kamis, 13 Juni 2013

Download Jurnal di Ebsco melalui PerpusNas RI

Mengunduh di Ebsco termasuk yang paling sederhana karena tidak terlalu banyak link anakannya..
Kalau kita login di http://e-resources.pnri.go.id  dan memilih Ebsco, kita akan mendapatkan laman seperti ini

kita bisa memilih di antara ketiga ikon tersebut, misalnya ikon pertama, "business..dst"
maka kita akan mendapatkan laman seperti ini

 seperti yang dituliskan oleh admin ebsco, kita bisa memilih salah satu dengan mencentang sumber-sumber pilihan lalu pilih "continue", atau boleh klik salah satu. contoh saya adalah klik "Education Research Complete", hasilnya adalah kolom pencarian seperti berikut:

 kita tinggal mengetikkan kata kuncinya dan klik "search" dan kita akan diberi deretan material yang dapat kita unduh seperti berikut ini:

 kita bisa meng"klik kanan" pada ikon "PDF Full Text" untuk menyingkat waktu, atau mungkin dilihat dulu isinya (jika kita punya banyaaaak waktu dan pulsa gratis). untuk yang menggunakan foxit (alternatif dari pdf reader) akan tampil seperti ini


silakan dibaca-baca dulu, jika ingin mengunduhnya, klik saja ikon unduh di kanan atas (gambar kertas dengan tanda panah ke bawah, disebelah gambar printer) dan kita akan mendapatkan laman kita menjadi seperti ini

silakan klik save... jangan lupa pilih folder penyimpannya biar tidak lupa..
Selamat mencoba, semoga bermanfaat...
(jangan lupa, komentar anda ditunggu untuk semakin memperbaiki pembelajaran saya, terimakasih)

Download Jurnal Taylor and Francis lewat Perpusnas RI

tulisan ini untuk teman baikku yang ingin dijelaskan lebih detail mengenai mengunduh jurnal lewat perpusnas setelah dia mendaftar seperti yang di jelaskan di tulisan sebelumnya (mengunduh jurnal lewat pnri)
supaya tidak terlalu panjang, kutuliskan satu-satu caranya. mulai dari favoritku: Taylor and Francis

setelah login di http://e-resources.pnri.go.id kita akan mendapat pilihan penyedia refren di bilah kiri (daftar tulisan) atau di bawah (ikon)

klik saja "Taylor and Francis'
maka akan muncul laman seperti berikut

 

 pilih dan klik salah satu tautan yang ada (di bawah "Browse by subject), misalnya "Education"
 akan muncul laman berikut:


klik (cek) pada bagian "journals"  dan pilih salah satu pilihan di bawah "Education",  -- sebenarnya bisa saja kita pilih-pilih jurnal dengan melihat semua, klik saja angka di bawah daftar jurnal untuk melihat jurnal berikutnya.... ada buanyaaaaaaaaaaaaaaaaakkk...silakan berpetualang.

 jika kita memilih, misalnya "secondary Education" dan pilihan "by subject" diteruskan "science" maka kita akan mendapatkan pilihan jurnal di bilah tengah (sebelah kanan dari yang kita pilih tadi) satu jurnal "studies in science education" seperti berikut ini

silakan klik tautan itu dan kita akan mendapatkan berbagai artikel dari jurnal tersebut. namun mungkin tidak semuanya gratis, tergantung berapa banyak yang dilanggan oleh perpusnas kita tercinta.

Cara lainnya adalah, saat kita masuk ke laman Taylor and Francis, kita langsung mengetik kata kunci  yang kita inginkan di bilah pencarian (search) yang ada di bagian paling atas, seperti ini:


tapi cobalah untuk klik "advanced search" yang ada di paling kanan itu, hingga muncul seperti ini:
 fungsinya adalah kita membatasi pencarian pada apa yang kita bisa unduh saja,
caranya adalah dengan melihat di kolom kiri bagian pilihan paling atas, kita dapat memilih jurnal (journals) atau reference works, nah di bawahnya, pilih pada "only content i have full access to"
baru kemudian ketikkan kata kunci pada form di bawahnya, tidak perlu semua diisi, biasanya kita mencari berdasar judul, maka, isi saja pada "article title"

kita bisa membuat alternatif diengan membuat pilihan di sebelah kanan, tapi sebaiknya tidak perlu merepotkan diri. kalau kita membuat pilihan di kanan, maka klik lah "search" yang ada di kanan, tapi kalau tidak cukup yang ada di kolom kiri saja.
dan... ini dia kita akan melihat hasilnya

...Mannnaaaa?
tak perlu kaget, kita akan mendapati seolah laman tidak berubah, tapi tunggu... scroll down alias geser mouse ke bawah dan kita menemukan daftar artikel yang kita cari, seperti ini
 kita bisa mengunduh dengan cara meng-klik kanan pada tulisan "download full text" hingga muncul ini:


pilih "save link as.." kemudian silakan di save..
selamat mencoba
tuliskan komentar jika ada pertanyaan atau masih bingung

Jumat, 07 Juni 2013

Download Jurnal Gratis lewat Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

ini adalah kabar menyenangkan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia alias PNRI terutama bagi yang sering memerlukan jurnal tapi susah downloadnya karena harus bayar, sementara nitip ke teman yang lagi ada di LN juga sering gak dibales karena sibuk. PNRItelah melanggan jurnal-jurnal dari beberapa publisher jurnal ternama. kita tinggal registrasi saja dan setelah terkonfirmasi kita dapat mengunduh berbagai jurnal yang disediakan

caranya?
registrasi dulu di:  http://keanggotaan.pnri.go.id

 karena kita belum ndaftar, klik saja tombol daftar di atas
selanjutnya kita akan mendapati laman ini.
 klik saja tombol biru 'lanjutkan pendaftaran' di kanan atas
kita akan diberi form pendaftaran anggota seperti berikut. untuk mengisinya kita perlu SIM/KTP/KK/Kartu Siswa atau KarMas.. siapkan salah satu saja

 Isi semua, tapi kalau males cukup isi pertanyaan yang bertanda *. Isi dengan sebenarnya ya..
scroll ke bawah, jangan lupa klik kotak "saya menyatakan data ...dst.. seperti di bawah ini



 kalau sudah kita akan mendapatkan nomor anggota pnri.
Jangan lupa, CATAT baik-baik nomor tersebut karena akan digunakan selanjutnya.

sudah bisa mulai akses?

Belum.
itu baru anggota perpustakaannya, untuk mengakses jurnalnya, kita masih perlu registrasi di http://e-resources.pnri.go.id 
klik link-nya dan kita akan mendapati laman ini



pada alinea ke tiga penjelasan di laman tersebut ada link 'KLIK DISINI' klik saja untuk registrasi dan kita akan diantar ke form berikut. (di form ini kita perlu menuliskan no anggota yang baru saja kita peroleh dari registrasi sebelumnya.
Isi semua ya.. cuma 10 nomor kok.


username dan password mungkin akan digunakan sebagai username dan password kita untuk masuk ke e-resource jika sudah dikonfirmasi nanti, oleh karena itu catat baik-baik

setelah kita klik registrasi yang kita perlukan adalah menunggu. admin pnri akan memberikan konfirmasi aktifasi akun kita melalui email yang kita isikan di form di atas.
aku perlu satu hari nunggu karena ngisi form malam dan besoknya tanggal merah...
selanjutnya jika sudah diaktifasi, masuklah lagi ke http://e-resources.pnri.go.id
 kali ini, langsung saja login


jika sudah kita bisa mulai klik link jurnal di bilah kiri (daftar berupa tulisan) atau bilah bawah (daftar berupa ikon, seperti ini:




setiap alamat mengelola sendiri mesin pencarinya, silakan lihat dan pelajari,
setelah itu silakan download jurnalnya.
mungkin kita akan menemukan tidak terlalu banyak jurnal yang dapat diakses, tetapi mungkin masih cukup untuk kita. mungkin dengan semakin sering kita buka dan memberi masukan pada pnri, koleksinya akan ditambah lagi, semoga..

Jangan lupa ya, jurnal ini didanai oleh rakyat Indonesia, jadi gunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.. kalau belum bisa, paling tidak gunakan untuk keperluan yang baik dan jangan di salah gunakan.

Semoga bermanfaat


Jumat, 31 Mei 2013

Perbedaan Problem Based Learning dan Project Based Learning (Pembelajaran berbasis masalah dan Pembelajaran berbasis projek)

Banyak yang masih bingung apa beda problem based learning (pembelajaran berbasis masalah) dan project based learning (pembelajaran berbasis projek), bukankah bagaimana menghasilkan produk dalam projek juga merupakan masalah? Ada juga yang menyamakan keduanya. ada juga yang menyatakan bahwa project based learning seharusnya digunakan untuk pembelajaran individual, sementara problem based learning dalam kelompok kecil.
Namun demikian, saya sendiri leb ih sepakat dengan Savin-Baden (2003) yang tidak membandingkan keduanya dalam kerangka mana yang lebih efektif untuk pembelajaran akan tetapi bagaimana rencana pembelajaran atau kurikulum disusun untuk kedua pendekatan pembelajaran tersebut.
Perbandingan yang dilakukan oleh Savin - Baden (2003) adalah sebagai b erikut.



Komponen
Project based learning
Problem based learning
focus
Diharuskan menghasilkan produk dalam bentuk laporan atau desain
Tidak harus menghasilkan produk
Peran guru/tutor
supervisor
Fasilitator
Pemecahan masalah
Siswa diharuskan menghasilkan solusi atau strategi untuk memecahkan masalah
Pemecahan masalah merupakan salah satu bagian dari proses bukan fosus dalam manajemen masalah
Pemberian materi pelajaran
Dalam bentuk berbagai macam tipe pembelajaran diberikan sepanjang projek
Difokuskan pada pembelajaran siswa sendiri. ceramah juga digunakan untuk mendukung belajar siswa bukan hanya memberi arah belajar
Peran siswa
Siswa terlibat dalam pemilihan projek (kadang-kadang dari daftar yang sudah ditentukan)
Siswa mungkin memilih skenario masalah walaupun biasanya masalah disampaikan oleh guru. Siswa harus mendefinisikan apa dan bagaimana mereka belajar
Posisi dalam pembelajaran
Sesudah siswa menguasai semua materi.
Dianggap sebagai mekanisme untuk menyampaikan beberapa materi dalam satu aktivitas
Digunakan untuk memahami materi.
Didasarkan pada premis bahwa pembelajaran terutama akan terjadi pada lintas disiplin termasuk pada awal pembelajaran
Peran kelompok
Ada untuk menyelesaikan projek
Harus bekerja sama selama proses pembelajaran dan kerja tim merupakan komponen pembelajaran



Jumat, 26 April 2013

Sore-sore Edin Menemukan Atom



Melepaskan semua beban pekerjaan dan pikiran, hanya berdua dengan, Edin (7 tahun), sambil tidur-tiduran menjelang sore setelah siang yang panas adalah hal yang sangat menyenangkan. Santai tanpa beban. Biasanya jam setengah tiga seperti ini dia tidur. Tapi karena dia baru saja pulang setelah mencapat tugas dari mamanya menemani Embahnya di siang itu, dia hanya minta dibolehkan beristirahat, tidak tidur karena waktu yang nanggung untuk tidur siang. Tapi ritual sebelum tidur siangnya tetap, dibacakan buku cerita. Melanjutkan buku “bagaimana bicara dalam bahasa naga”. Ini adalah buku ketiga dari serial cerita tentang anak-anak viking yang ditulis oleh cressida cowell dan buku keempat dari buku tentang viking yang kami baca bergantian.
Setelah kubacakan dua bab, kamipun bercanda. Ada saja yang membuat dia tertawa. Tertawalah yang menghilangkan sejenak bebanku. Kami menertawakan semuanya, kata-kata kotor dan konyol dari buku yang sedang dibaca, tebak-tebakkan konyol, hayalan-hayalan kami yang aneh, kata-kata yang terdengar aneh, atau sekedar cerita tentang teman-temannya di sekolah. Bahkan hal yang mungkin bagi orang lain tak lucu bisa tetap membuat kami tertawa.
“Huruf apa yang paling besar?”
“huruf kapital”
“huruf E”
“kenapa e”
“ya.. tapi bukan sembarang E, hanya E yang subur…”
“wahahahaa…korban acara gosip!”
Itu adalah salah satu tebakan yang membuat kami tertawa. Bagi orang lain mungkin terdengar garing, geje, mana lucunya… tapi bagi kami tetaplah lucu. Bahkan bagiku sangat lucu apalagi melihat tingkahnya saat bertanya dan tertawa.
“Yah, abu apa yang bisa menyala?”
“abu batubara..”
“bukan, Abu Bakar..”
“hush..itukan nama orang….” Kataku tetap tertawa melihat kelucuannya, idenya..
“eh, yah.. kali kalau ada kurcaci keciiiiiil gitu, mereka menganggap abu itu jadi kaya arang” kata Edin setelah selesai tertawa
“kok bisa?”
“kan kalau arang itukan dari kayu yang dibakar, jadi kecil-kecil, trus kalau arang itu dibakar kan jadi abu kecil-kecil.. kan bagi kurcaci yang sangat kecil itu jadi kaya nemu arang..”
Kubiarkan saja dia berceloteh, ini kebiasaan dia memainkan proyeksi besar kecil. Takmasalah bagiku untuk menjelaskan apa kurcaci itu ada atau tidak. Bukankah sangat menyenangkan punya hayalan.
“terus kalau ada abu yang habis dibakar kurcaci kecil itu akan jadi arang buat kurcaci yang sangat kecil dari kurcaci kecil itu….” Edin melanjutkan
Nah, kan… dia mulai membuat khayalan, sebuah ekstrapolasi proyeksi besar kecil. Itu yang dia  maksud adalah, kalau kita punya kurcaci, maka kurcaci pun punya kurcaci ‘aksen’.. kalau kurcaci itu bagi kita kecil, maka kurcaci itu akan memandang kurcaci ‘aksen’ itu kecilnya sama dengan kita memandang kurcaci, alias kurcaci ‘aksen’ ini menjadi kecil kuadrat bagi kita..  Itu yang kusuka dari cara dia berfikir tentang besar kecil. Dia pernah mencoba menjelaskan ini padaku untuk menjelaskan hayalannya tentang semut, raksasa, galaksi, dan kita.
“kalau kurcacinya kurcaci kecil ini punya kurcaci, abu bekas pembakaran kurcacinya kurcaci kecil jadi arang bagi dia kan….”
Hey..ada sesuatu yang akan kubiarkan.. lihat, dia terus melanjutkan proyeksinya..
“terus..teruss…teruuuuuusss.. gitu sampai kita gak liat lagi abunya tapi sebenernya abunya tetap ada..”
Nah, itu dia! ketemu yang kutunggu dari tadi! Eurekaaa! Harusnya aku teriak sambil loncat. Tapi gak pake telanjang kaya Archimides.
“kok, Edin mikirnya abunya masih ada?”, aku ingin tau lebih dalam apa yang dia pikirkan
“iya kan abunya dibakar, jadi abu yang lebih kecil, terus abu kecilnya dibakar lagi, terus-teruuuusss.. gitu.. sampai hanya kurcacinya kumannya kurcaci yang bisa melihat..tapi kan masih ada abunya lagi..” dia menjelaskan. “Cuma kita gak bisa melihatnya, karena keciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiil banget”, tambahnya.
Tuh, benerkan. Begitu rupanya Aristotels berfikir dulu tentang atom. Bukankah sekarang Edin sedang berfikir yang sama?
“Edin tau gak setiap benda juga seperti itu?”
“bisa dibakar?” tanyanya polos
“bukan, maksud ayah. Kalau di potong terus sampai ke yang paling kecil, sampai hanya kurcacinya kumannya kurcaci yang bisa melihat..” aku mengikuti bahasa hayalannya.
“iya…?”
“yang paling kecil itu dinamakan atom”, kataku
“bom atom….!” Dia langsung mengasosiasi
“bom atom itu gak kelihatan po, Yah?”
“kalau gak kelihatan siapa yang mbawa dong?” kataku menantang pikirannya
“terus…kenapa namanya bom atom?”
“ya karena atom-atom yang akan diledakkan dimasukkan dalam suatu wadah. Saat atomnya bertumbukan..duuaaaarrrr..bomnya akan meledak”
“kan atomnya gak kelihatan, kenapa orangnya bisa memasukkan dalam wadah?”
Wah, perlu belok sebentar nih.. cari akal dulu biar dia bisa jelas.
“itu kaya angin, kita gak bisa lihat angin kan? Kita Cuma bisa lihat daun yang bergerak, atau kalau tangan kita ditiup akan terasa. Angin gak bisa dilihat tapi kita tahu angin ada”
“iya.. gak terlihat tapi kerasa…gregel-gregel di kulit Edin”
“itu maksudnya, orang mengetahui gejala… “ halah…kata apa yang tepat untuk menjelaskannya..
“orang mengetahui ciri-ciri atom yang akan dibuat bom atom itu” aku mengulanginya, kata ‘ciri-ciri’ lebih dia kenal daripada ‘gejala’. “terus membungkus dalam wadah jadilah bom atom”. Sengaja kubuat sederhana. Agar tidak terlalu berat dipikirannya.
“dibungkus kacang atom” sahutnya cepat.
Whe..lah kok beda lagi? Tapi itulah anak-anak. Cepat sekali imajinasinya berkembang. Seperti aliran air meresap dalam kertas tisu kering..
 “kenapa kok namanya kacang atom, Yah. Apa karena pedas ‘trus meledak gitu?”
“mungkin karena bulat dan dianggap seperti atom”
“apa atom itu bulat?” tanya Edin. Beuh, aku lupa. Sampaikan konsep dengan sederhana tapi jangan menyederhanakan konsep
“gak juga, kan belum ada orang yang benar-benar melihat atom” aku harus memikirkan jawaban yang lain
“tapi mungkin juga kacang atom itu bulat-bulat halus seperti plastik, orang jaman dulu memberi nama plastik yang keras dan halus dengan nama atom” jawabku mencoba mencari alternatif lain
“kenapa sih kita gak bisa melihat benda yang sangaaat…sangaat keciiiiiiillllll?” rupanya dia masih tertarik dengan hal yang sangaaat kecil
“itu karena mata kita terbatas. Coba kalau kita bisa melihat kurcacinya kumannya kurcaci, kita gak bisa tidur. Mau tidur, eh dibantal ada kurcacinya kumannya kurcaci, kita udah bersih-bersihkan, eh dibaju kita ada, di lantai ada, dimana-mana ada… pusing kita…”
Hahaha…kami tertawa.
“itulah mengapa kita harus bersyukur karena kita diberi batas”
“ada gak sih, alat yang bisa buat melihat benda yang sangaaat…sangaat keciiiiiiillllll?”
“ada, namanya mikroskop. Tapi itupun kelihatannya belum ada mikroskop yang sangat baik yang dapat digunakan untuk melihat atom.”.
“coba kalau kita bisa melihat langsung ya… kita bisa melihat kulit kita berlubang-lubang buat keluarnya keringat.. eh, tembok juga berlubang-lubang kan? Tuh kadang-kadang tembok jadi basah, ada air yang bisa menerobos kan? Tar kalau kita lihat temboknya berlubang dikiranya gak ada temboknya..tau-tau jebruussss kita nabrak tembol….”  Edin terus berceloteh mengikuti hayalannya ditimpali dengan tawa kerasnya….

Senin, 22 Oktober 2012

Ikut Membaca LKS SD, membaca keperihatinan masa depan bangsa



ketika 'budaya' tawuran (benarkah ini disebut budaya?) disangkutpautkan dengan rencana perubahan kurikulum, ada pertanyaan yang muncul-benarkah ini dua hal yang tepat? Maksud saya benarkah ini yang memang menjadi alasan untuk perubahan kurikulum dan apakah tepat solusi yang ditawarkan, yaitu dengan menghapus matapelajaran IPA dan IPS?
Kedua pertanyaan ini juga yang menggantung saat saya membaca sebuah soal Pekerjaan Rumah yang diambil dari buku yang bernama LKS. Pertanyaan itu adalah “Rumus gigi anak adalah....”. Pertanyaan ini semestinya tidak akan aneh jika ada di LKS untuk  siswa kelas 2 SMP, tetapi tidak. Pertanyaan ini muncul di buku LKS kelas 1 SD. Sekali lagi kelas SATU SEKOLAH DASAR! Tidak cukup mengelus dada untuk menghadapi kenyataan ini. Masa depan sebuah bangsa dipertaruhkan di sini. Ini bukan 'lebay' seperti yang dikatakan anak muda sekarang. Ini memang sedang berlangsung sekarang.
Pernahkah dibayangkan oleh pembuat LKS ini (dan guru yang memberi LKS ini) bahwa untuk empat kata dalam pertanyaan di atas, otak anak usia 5 – 7 tahun harus berulang kali mencerna kata-kata asing yang belum dan tidak seharusnya sudah, dikenal otaknya. Apa yang dimaksud 'rumus', mengapa disebut gigi anak, mengapa rumus gigi, apa maksud angka-angka itu, dan banyak lagi yang lainnya. Padahal anak seusia itu seharusnya baru DIKENALKAN – MENGENAL' tubuh mereka dengan menyenangkan bukan MENGHAFAL tubuh mereka dengan kening berkerut.
Pertanyaan di atas barangkali hanya salah satu dari pertanyaan 'sulit' yang ada di buku sekolah anak yang baru mulai mengenal sekolah. Ada ratusan pertanyaan aneh lain yang ada. Dan lebih anehnya, LKS dengan pertanyaan-pertanyaan semakin aneh adalah LKS yang semakin diminati. ANEH!
Tak ada kaidah hirarki pengetahuan yang diberikan oleh LKS ini. Pengetahuan seperti ditumpahkan dari karung carut marut, apa saja yang sempat diwadahi dalam beberapa lembar kertas, itulah yang dicetak dan diberi judul LKS. Bisa dibayangkan keruwetan yang terjadi di otak anak SD menghadapi pelajaran di sekolahnya karena sumber yang tidak hanya ruwet tapi juga dipaksa masukkan ke otaknya. Oleh karena itu seharusnya sebagai orang tua kita dapat menyadari bahwa jika ada keruwetan dari hasil pekerjaan anak kita, bukan anak kitalah yang ruwet akan tetapi mereka sedang menelan sumber keruwetan. Tapi kebanyakan dari kita tidak demikian. Kita lebih suka ikut memaksa mereka untuk menelannya.
Anak-anak akhirnya terpilah menjadi kelompok-kelompok. Kelompok pertama adalah anak-anak yang dengan kapasitas otak lebih atau dipaksa lebih, anak-anak ini akan (atau dipaksa) melahap LKSnya meski dia telah kehilangan hak otaknya untuk bekerja sesuai umur. Mereka akan dengan tepat menjawab pertanyaan-pertanyaan bahkan dengan pertanyaan aneh model di atas meski mereka belum tentu tahu maknanya.
Kelompok kedua adalah anak biasa saja, yaitu anak-anak yang tidak mau atau belum mau mencerna kata-kata asing dan berat serta pertanyaan aneh, tetapi sesekali mampu mencerna saat mereka memaksa (atau dipaksa) untuk mencerna juga. Kelompok ketiga adalah anak yang sama sekali tidak mau mencernanya, orang tua dan guru biasanya sudah menyerah dan menggolongkan mereka anak yang GAGAL.
Pengelompokkan ini memang sengaja tidak diberi label anak pandai dan bodoh (maaf, biasanya dihaluskan menjadi tidak pandai, tapi itu sebenarnya tidak terlalu banyak memabntu). Pikirkan sekali lagi jika kita akan memberi labelnya demikian. Dengan kondisi di atas, bukankah justru bukan anaknya yang layak untuk kita beri label bodoh, akan tetapi kitalah yang bodoh untuk memberikan fasilitas pembelajaran hingga mereka menunjukkan bahwa mereka sebenarnya pandai bahkan sangat pandai.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah berapa jumlah anak kelompok pertama dibandingkan dengan kelompok ketiga. Seperti apa fakta yang kita hadapi? Banyak, bahkan teramat banyak anak yang bosan dengan pelajaran yang tidak bisa dicerna. Pengetahuan hanyalah piala dalam kotak kaca tanpa kunci bagi mereka. Mereka akan bosan atau fobia dengan pengetahuan dan matematika atau bahkan seluruh mata pelajaran. Mata pelajaran apapun mejadi tidak menarik bagi mereka. Sekolah bukan untuk mendapatkan pengetahuan tetapi tempat berkumpul dengan teman dengan nama grup yang sama.
Pengelompokkan di atas, baik disadari atau tidak telah dilabelkan pada dahi setiap anak. Anak-anak kelompok pertama adalah anak yang akan masuk dalam kelas-kelas ekslusif dengan berbagai nama indahnya. Lainnya silakan menunggu keberuntungan untuk masuk ke kelas eksklusif atau paling tidak sedikit high class atau tetap berada di pinggir. Anak-anak kelompok dua dan tiga mulai melabeli dirinya sebagai anak yang tidak dapat menerima pelajaran di sekolah.  Tidak mungkin juga anak-anak dari kelompok pertama juga mengalami masa jenuh dan bergabung dengan kelompok kedua dan ketiga. Semua anak ini akan mulai mencari kompensasi, baik positif ataupun negatif. Kompensasi paling negatif adalah mereka memposisikan diri sebagai oposisi kelas eksklusif dan merasa menjadi 'anak nakal'. Bukankah tidak mungkin tawuran adalah salah satu bentuk dari tindakan kompensasi negatif ini?
Sekali lagi, mari kita bertanya siapa sebenarnya yang bodoh? Helalah nafas panjang dan hembuskan kuat-kuat sambil bilang WOW! Karena memang WOW! Masa depan bangsa kita memang sedang ditentukan oleh sumber belajar yang dikerjakan dengan serampangan. Walaupun memang tidak semua LKS seperti itu, tapi berapa jumlahnya?
Ini bukan tidak dikeluhkan oleh orang tua murid kita. Beberapa kasus yang mencuat biasanya berkait dengan SARA dan etika. Masalah konten barangkali tidak pernah menjadi kasus yang merebak di masyarakat. Tapi tengoklah dunia maya, facebook, twitter dan media lain, berisi keluhan  orang tua tentang buku dan pekerjaan rumah anak-anak SD yang terlalu berat untuk usia anak. Biasanya mereka akan berkata “kurikulum sekarang terlalu berat”. Tapi benarkah kurikulumnya yang berat?
Seandainya para orang tua mau membaca kurikulum SD, mereka akan melihat sebenarnya tuntutan kurikulum tidak seberat apa yang dituntutkan oleh pekerjaan rumah yang disodorkan putra-putri mereka. Jadi apa masalahnya?  Ambil contoh satu standar kompetensi untuk pelajaran IPA di kelas 2 SD adalah “ Mengenal bagian-bagian utama hewan dan tumbuhan di sekitar rumah dan sekolah melalui pengamatan ”.  Sederhana bukan? Saking sederhananya sampai tidak tahu dimana batas yang diinginkan oleh kalimat ini. Maka tidak heran jika penulis LKS menuliskan pertanyaan seperti ini, “belalang bernafas dengan....” hey, hallooooo ini anak kelas dua SD yang bahkan mungkin baru tahu nama paru-paru!
Keadaan ini takterkoreksi karena kurikulum digembar-gemborkan untuk dapat disusun pada setiap satuan pendidikan atau dengan kata lain sekolah berhak untuk mengartikan kalimat itu sesuai dengan pemahamannya. Jika 'sang penyusun' kurikulum ini tidak terbiasa dengan kebebasan ini, mereka justru berbalik menjadi sangat terikat pada 'contoh' kurikulum, buku, dan bahkan LKS. Parahnya, jika ternyata tempat mereka bergantung justru tak juga memaknai kalimat sakti dalam standar isi dengan benar sesuai dengan pembuatnya.
Pada kondisi ini sepertinya perlu jika kita memberi satu rekomendasi untuk bsnp yaitu menerbitkan anak standar isi dalam bentuk yang lebih terlihat jelas batasan dari setiap tingkat pendidikan.
Baiklah kita lihat lagi arah pembicaraan kita. Buku teks. Beberapa kali pusat perbukuan mengadakan penilaian pada buku teks. Semestinya dengan penilaian ini dihasilkan buku-buku yang terstandar. Artinya, mestinya takapalah jika buku-buku ini dijadikan acuan dalam menyusun kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Namun, pikiran pesimis saya bertanya, benarkah ini sudah dilakukan sebagaimana yang kita inginkan?. Baiklah buang pikiran pesimis ini. Ada pertanyaan yang lebih penting, bagaimana dengan pengawasan buku yang ada di pasar? Bagaimana kecenderungan pemilihan buku untuk menjadi buku teks yang digunakan di sekolah? Takperlu kita bicarakan segi bisnisnya tetapi hal yang perlu kita pedulikan adalah seperti yang dijelaskan di atas, semakin kompleks dan rumit pengetahuan yang diberikan, akan semakin tinggi nilai preferensinya. Itu dia!
Hal yang lebih perlu kita perhatikan adalah LKS. Media ini seperti majalah semesteran. Pusat perbukuan pun tak menangani masalah ini. Bahkan juga tidak ada tekanan pada pihak manapun untuk tidak menggunakannya. Media ini jauh lebih bebas tumbuh tanpa batasan. Seolah-olah pusat perbukuan salah bidik karena justru media ini lebih banyak digunakan di sekolah daripada buku teks yang telah dengan mahal dinilai di pusat perbukuan.
Benar, LKS memang tidak ada yang mengawasi. Bahkan kita baru ribut jika suatu masalah sudah diangkat di televisi nasional. Tapi takpernah ribut jika anak kita dicekoki oleh pengetahuan yang seharusnya bukan bagian mereka. Malah,  orang tua menyebut anaknya bodoh jika tak mampu menghafalnya.
Salahkah orang tua? Jika kita orang tua murid, pasti tahu jawabannya. Bukan masalah salah atau tidak salah, tetapi masalahnya adalah apa yang bisa kita lakukan pada ketakutan kita,  bahwa anak kita tidak dapat mengerjakan ujian akhir nasional dengan pertanyaan seperti itu!
Satu pemikiran sederhana yang muncul adalah, pangkas saja pelajaran IPA dan IPS pasti masalahnya selesai! Semudah itukah? Sepertinya kita melihat bahwa pengaliasan mata pelajaran sebagai materi kognisi sudah mendarah daging. Apapun pelajarannya, maka akan muncul buku teks dan LKS yang akan membeberkan sejumlah fakta yang dimaknai sebagai bahan hafalan untuk otak anak kita. Takkah kita takut justru pelajaran seperti budi pekerti dan pendidikan karakter menjelma, turun derajatnya menjadi kalimat-kalimat klise yang dihafal.