Jumat, 26 April 2013

Sore-sore Edin Menemukan Atom



Melepaskan semua beban pekerjaan dan pikiran, hanya berdua dengan, Edin (7 tahun), sambil tidur-tiduran menjelang sore setelah siang yang panas adalah hal yang sangat menyenangkan. Santai tanpa beban. Biasanya jam setengah tiga seperti ini dia tidur. Tapi karena dia baru saja pulang setelah mencapat tugas dari mamanya menemani Embahnya di siang itu, dia hanya minta dibolehkan beristirahat, tidak tidur karena waktu yang nanggung untuk tidur siang. Tapi ritual sebelum tidur siangnya tetap, dibacakan buku cerita. Melanjutkan buku “bagaimana bicara dalam bahasa naga”. Ini adalah buku ketiga dari serial cerita tentang anak-anak viking yang ditulis oleh cressida cowell dan buku keempat dari buku tentang viking yang kami baca bergantian.
Setelah kubacakan dua bab, kamipun bercanda. Ada saja yang membuat dia tertawa. Tertawalah yang menghilangkan sejenak bebanku. Kami menertawakan semuanya, kata-kata kotor dan konyol dari buku yang sedang dibaca, tebak-tebakkan konyol, hayalan-hayalan kami yang aneh, kata-kata yang terdengar aneh, atau sekedar cerita tentang teman-temannya di sekolah. Bahkan hal yang mungkin bagi orang lain tak lucu bisa tetap membuat kami tertawa.
“Huruf apa yang paling besar?”
“huruf kapital”
“huruf E”
“kenapa e”
“ya.. tapi bukan sembarang E, hanya E yang subur…”
“wahahahaa…korban acara gosip!”
Itu adalah salah satu tebakan yang membuat kami tertawa. Bagi orang lain mungkin terdengar garing, geje, mana lucunya… tapi bagi kami tetaplah lucu. Bahkan bagiku sangat lucu apalagi melihat tingkahnya saat bertanya dan tertawa.
“Yah, abu apa yang bisa menyala?”
“abu batubara..”
“bukan, Abu Bakar..”
“hush..itukan nama orang….” Kataku tetap tertawa melihat kelucuannya, idenya..
“eh, yah.. kali kalau ada kurcaci keciiiiiil gitu, mereka menganggap abu itu jadi kaya arang” kata Edin setelah selesai tertawa
“kok bisa?”
“kan kalau arang itukan dari kayu yang dibakar, jadi kecil-kecil, trus kalau arang itu dibakar kan jadi abu kecil-kecil.. kan bagi kurcaci yang sangat kecil itu jadi kaya nemu arang..”
Kubiarkan saja dia berceloteh, ini kebiasaan dia memainkan proyeksi besar kecil. Takmasalah bagiku untuk menjelaskan apa kurcaci itu ada atau tidak. Bukankah sangat menyenangkan punya hayalan.
“terus kalau ada abu yang habis dibakar kurcaci kecil itu akan jadi arang buat kurcaci yang sangat kecil dari kurcaci kecil itu….” Edin melanjutkan
Nah, kan… dia mulai membuat khayalan, sebuah ekstrapolasi proyeksi besar kecil. Itu yang dia  maksud adalah, kalau kita punya kurcaci, maka kurcaci pun punya kurcaci ‘aksen’.. kalau kurcaci itu bagi kita kecil, maka kurcaci itu akan memandang kurcaci ‘aksen’ itu kecilnya sama dengan kita memandang kurcaci, alias kurcaci ‘aksen’ ini menjadi kecil kuadrat bagi kita..  Itu yang kusuka dari cara dia berfikir tentang besar kecil. Dia pernah mencoba menjelaskan ini padaku untuk menjelaskan hayalannya tentang semut, raksasa, galaksi, dan kita.
“kalau kurcacinya kurcaci kecil ini punya kurcaci, abu bekas pembakaran kurcacinya kurcaci kecil jadi arang bagi dia kan….”
Hey..ada sesuatu yang akan kubiarkan.. lihat, dia terus melanjutkan proyeksinya..
“terus..teruss…teruuuuuusss.. gitu sampai kita gak liat lagi abunya tapi sebenernya abunya tetap ada..”
Nah, itu dia! ketemu yang kutunggu dari tadi! Eurekaaa! Harusnya aku teriak sambil loncat. Tapi gak pake telanjang kaya Archimides.
“kok, Edin mikirnya abunya masih ada?”, aku ingin tau lebih dalam apa yang dia pikirkan
“iya kan abunya dibakar, jadi abu yang lebih kecil, terus abu kecilnya dibakar lagi, terus-teruuuusss.. gitu.. sampai hanya kurcacinya kumannya kurcaci yang bisa melihat..tapi kan masih ada abunya lagi..” dia menjelaskan. “Cuma kita gak bisa melihatnya, karena keciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiil banget”, tambahnya.
Tuh, benerkan. Begitu rupanya Aristotels berfikir dulu tentang atom. Bukankah sekarang Edin sedang berfikir yang sama?
“Edin tau gak setiap benda juga seperti itu?”
“bisa dibakar?” tanyanya polos
“bukan, maksud ayah. Kalau di potong terus sampai ke yang paling kecil, sampai hanya kurcacinya kumannya kurcaci yang bisa melihat..” aku mengikuti bahasa hayalannya.
“iya…?”
“yang paling kecil itu dinamakan atom”, kataku
“bom atom….!” Dia langsung mengasosiasi
“bom atom itu gak kelihatan po, Yah?”
“kalau gak kelihatan siapa yang mbawa dong?” kataku menantang pikirannya
“terus…kenapa namanya bom atom?”
“ya karena atom-atom yang akan diledakkan dimasukkan dalam suatu wadah. Saat atomnya bertumbukan..duuaaaarrrr..bomnya akan meledak”
“kan atomnya gak kelihatan, kenapa orangnya bisa memasukkan dalam wadah?”
Wah, perlu belok sebentar nih.. cari akal dulu biar dia bisa jelas.
“itu kaya angin, kita gak bisa lihat angin kan? Kita Cuma bisa lihat daun yang bergerak, atau kalau tangan kita ditiup akan terasa. Angin gak bisa dilihat tapi kita tahu angin ada”
“iya.. gak terlihat tapi kerasa…gregel-gregel di kulit Edin”
“itu maksudnya, orang mengetahui gejala… “ halah…kata apa yang tepat untuk menjelaskannya..
“orang mengetahui ciri-ciri atom yang akan dibuat bom atom itu” aku mengulanginya, kata ‘ciri-ciri’ lebih dia kenal daripada ‘gejala’. “terus membungkus dalam wadah jadilah bom atom”. Sengaja kubuat sederhana. Agar tidak terlalu berat dipikirannya.
“dibungkus kacang atom” sahutnya cepat.
Whe..lah kok beda lagi? Tapi itulah anak-anak. Cepat sekali imajinasinya berkembang. Seperti aliran air meresap dalam kertas tisu kering..
 “kenapa kok namanya kacang atom, Yah. Apa karena pedas ‘trus meledak gitu?”
“mungkin karena bulat dan dianggap seperti atom”
“apa atom itu bulat?” tanya Edin. Beuh, aku lupa. Sampaikan konsep dengan sederhana tapi jangan menyederhanakan konsep
“gak juga, kan belum ada orang yang benar-benar melihat atom” aku harus memikirkan jawaban yang lain
“tapi mungkin juga kacang atom itu bulat-bulat halus seperti plastik, orang jaman dulu memberi nama plastik yang keras dan halus dengan nama atom” jawabku mencoba mencari alternatif lain
“kenapa sih kita gak bisa melihat benda yang sangaaat…sangaat keciiiiiiillllll?” rupanya dia masih tertarik dengan hal yang sangaaat kecil
“itu karena mata kita terbatas. Coba kalau kita bisa melihat kurcacinya kumannya kurcaci, kita gak bisa tidur. Mau tidur, eh dibantal ada kurcacinya kumannya kurcaci, kita udah bersih-bersihkan, eh dibaju kita ada, di lantai ada, dimana-mana ada… pusing kita…”
Hahaha…kami tertawa.
“itulah mengapa kita harus bersyukur karena kita diberi batas”
“ada gak sih, alat yang bisa buat melihat benda yang sangaaat…sangaat keciiiiiiillllll?”
“ada, namanya mikroskop. Tapi itupun kelihatannya belum ada mikroskop yang sangat baik yang dapat digunakan untuk melihat atom.”.
“coba kalau kita bisa melihat langsung ya… kita bisa melihat kulit kita berlubang-lubang buat keluarnya keringat.. eh, tembok juga berlubang-lubang kan? Tuh kadang-kadang tembok jadi basah, ada air yang bisa menerobos kan? Tar kalau kita lihat temboknya berlubang dikiranya gak ada temboknya..tau-tau jebruussss kita nabrak tembol….”  Edin terus berceloteh mengikuti hayalannya ditimpali dengan tawa kerasnya….