Senin, 22 Oktober 2012

Ikut Membaca LKS SD, membaca keperihatinan masa depan bangsa



ketika 'budaya' tawuran (benarkah ini disebut budaya?) disangkutpautkan dengan rencana perubahan kurikulum, ada pertanyaan yang muncul-benarkah ini dua hal yang tepat? Maksud saya benarkah ini yang memang menjadi alasan untuk perubahan kurikulum dan apakah tepat solusi yang ditawarkan, yaitu dengan menghapus matapelajaran IPA dan IPS?
Kedua pertanyaan ini juga yang menggantung saat saya membaca sebuah soal Pekerjaan Rumah yang diambil dari buku yang bernama LKS. Pertanyaan itu adalah “Rumus gigi anak adalah....”. Pertanyaan ini semestinya tidak akan aneh jika ada di LKS untuk  siswa kelas 2 SMP, tetapi tidak. Pertanyaan ini muncul di buku LKS kelas 1 SD. Sekali lagi kelas SATU SEKOLAH DASAR! Tidak cukup mengelus dada untuk menghadapi kenyataan ini. Masa depan sebuah bangsa dipertaruhkan di sini. Ini bukan 'lebay' seperti yang dikatakan anak muda sekarang. Ini memang sedang berlangsung sekarang.
Pernahkah dibayangkan oleh pembuat LKS ini (dan guru yang memberi LKS ini) bahwa untuk empat kata dalam pertanyaan di atas, otak anak usia 5 – 7 tahun harus berulang kali mencerna kata-kata asing yang belum dan tidak seharusnya sudah, dikenal otaknya. Apa yang dimaksud 'rumus', mengapa disebut gigi anak, mengapa rumus gigi, apa maksud angka-angka itu, dan banyak lagi yang lainnya. Padahal anak seusia itu seharusnya baru DIKENALKAN – MENGENAL' tubuh mereka dengan menyenangkan bukan MENGHAFAL tubuh mereka dengan kening berkerut.
Pertanyaan di atas barangkali hanya salah satu dari pertanyaan 'sulit' yang ada di buku sekolah anak yang baru mulai mengenal sekolah. Ada ratusan pertanyaan aneh lain yang ada. Dan lebih anehnya, LKS dengan pertanyaan-pertanyaan semakin aneh adalah LKS yang semakin diminati. ANEH!
Tak ada kaidah hirarki pengetahuan yang diberikan oleh LKS ini. Pengetahuan seperti ditumpahkan dari karung carut marut, apa saja yang sempat diwadahi dalam beberapa lembar kertas, itulah yang dicetak dan diberi judul LKS. Bisa dibayangkan keruwetan yang terjadi di otak anak SD menghadapi pelajaran di sekolahnya karena sumber yang tidak hanya ruwet tapi juga dipaksa masukkan ke otaknya. Oleh karena itu seharusnya sebagai orang tua kita dapat menyadari bahwa jika ada keruwetan dari hasil pekerjaan anak kita, bukan anak kitalah yang ruwet akan tetapi mereka sedang menelan sumber keruwetan. Tapi kebanyakan dari kita tidak demikian. Kita lebih suka ikut memaksa mereka untuk menelannya.
Anak-anak akhirnya terpilah menjadi kelompok-kelompok. Kelompok pertama adalah anak-anak yang dengan kapasitas otak lebih atau dipaksa lebih, anak-anak ini akan (atau dipaksa) melahap LKSnya meski dia telah kehilangan hak otaknya untuk bekerja sesuai umur. Mereka akan dengan tepat menjawab pertanyaan-pertanyaan bahkan dengan pertanyaan aneh model di atas meski mereka belum tentu tahu maknanya.
Kelompok kedua adalah anak biasa saja, yaitu anak-anak yang tidak mau atau belum mau mencerna kata-kata asing dan berat serta pertanyaan aneh, tetapi sesekali mampu mencerna saat mereka memaksa (atau dipaksa) untuk mencerna juga. Kelompok ketiga adalah anak yang sama sekali tidak mau mencernanya, orang tua dan guru biasanya sudah menyerah dan menggolongkan mereka anak yang GAGAL.
Pengelompokkan ini memang sengaja tidak diberi label anak pandai dan bodoh (maaf, biasanya dihaluskan menjadi tidak pandai, tapi itu sebenarnya tidak terlalu banyak memabntu). Pikirkan sekali lagi jika kita akan memberi labelnya demikian. Dengan kondisi di atas, bukankah justru bukan anaknya yang layak untuk kita beri label bodoh, akan tetapi kitalah yang bodoh untuk memberikan fasilitas pembelajaran hingga mereka menunjukkan bahwa mereka sebenarnya pandai bahkan sangat pandai.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah berapa jumlah anak kelompok pertama dibandingkan dengan kelompok ketiga. Seperti apa fakta yang kita hadapi? Banyak, bahkan teramat banyak anak yang bosan dengan pelajaran yang tidak bisa dicerna. Pengetahuan hanyalah piala dalam kotak kaca tanpa kunci bagi mereka. Mereka akan bosan atau fobia dengan pengetahuan dan matematika atau bahkan seluruh mata pelajaran. Mata pelajaran apapun mejadi tidak menarik bagi mereka. Sekolah bukan untuk mendapatkan pengetahuan tetapi tempat berkumpul dengan teman dengan nama grup yang sama.
Pengelompokkan di atas, baik disadari atau tidak telah dilabelkan pada dahi setiap anak. Anak-anak kelompok pertama adalah anak yang akan masuk dalam kelas-kelas ekslusif dengan berbagai nama indahnya. Lainnya silakan menunggu keberuntungan untuk masuk ke kelas eksklusif atau paling tidak sedikit high class atau tetap berada di pinggir. Anak-anak kelompok dua dan tiga mulai melabeli dirinya sebagai anak yang tidak dapat menerima pelajaran di sekolah.  Tidak mungkin juga anak-anak dari kelompok pertama juga mengalami masa jenuh dan bergabung dengan kelompok kedua dan ketiga. Semua anak ini akan mulai mencari kompensasi, baik positif ataupun negatif. Kompensasi paling negatif adalah mereka memposisikan diri sebagai oposisi kelas eksklusif dan merasa menjadi 'anak nakal'. Bukankah tidak mungkin tawuran adalah salah satu bentuk dari tindakan kompensasi negatif ini?
Sekali lagi, mari kita bertanya siapa sebenarnya yang bodoh? Helalah nafas panjang dan hembuskan kuat-kuat sambil bilang WOW! Karena memang WOW! Masa depan bangsa kita memang sedang ditentukan oleh sumber belajar yang dikerjakan dengan serampangan. Walaupun memang tidak semua LKS seperti itu, tapi berapa jumlahnya?
Ini bukan tidak dikeluhkan oleh orang tua murid kita. Beberapa kasus yang mencuat biasanya berkait dengan SARA dan etika. Masalah konten barangkali tidak pernah menjadi kasus yang merebak di masyarakat. Tapi tengoklah dunia maya, facebook, twitter dan media lain, berisi keluhan  orang tua tentang buku dan pekerjaan rumah anak-anak SD yang terlalu berat untuk usia anak. Biasanya mereka akan berkata “kurikulum sekarang terlalu berat”. Tapi benarkah kurikulumnya yang berat?
Seandainya para orang tua mau membaca kurikulum SD, mereka akan melihat sebenarnya tuntutan kurikulum tidak seberat apa yang dituntutkan oleh pekerjaan rumah yang disodorkan putra-putri mereka. Jadi apa masalahnya?  Ambil contoh satu standar kompetensi untuk pelajaran IPA di kelas 2 SD adalah “ Mengenal bagian-bagian utama hewan dan tumbuhan di sekitar rumah dan sekolah melalui pengamatan ”.  Sederhana bukan? Saking sederhananya sampai tidak tahu dimana batas yang diinginkan oleh kalimat ini. Maka tidak heran jika penulis LKS menuliskan pertanyaan seperti ini, “belalang bernafas dengan....” hey, hallooooo ini anak kelas dua SD yang bahkan mungkin baru tahu nama paru-paru!
Keadaan ini takterkoreksi karena kurikulum digembar-gemborkan untuk dapat disusun pada setiap satuan pendidikan atau dengan kata lain sekolah berhak untuk mengartikan kalimat itu sesuai dengan pemahamannya. Jika 'sang penyusun' kurikulum ini tidak terbiasa dengan kebebasan ini, mereka justru berbalik menjadi sangat terikat pada 'contoh' kurikulum, buku, dan bahkan LKS. Parahnya, jika ternyata tempat mereka bergantung justru tak juga memaknai kalimat sakti dalam standar isi dengan benar sesuai dengan pembuatnya.
Pada kondisi ini sepertinya perlu jika kita memberi satu rekomendasi untuk bsnp yaitu menerbitkan anak standar isi dalam bentuk yang lebih terlihat jelas batasan dari setiap tingkat pendidikan.
Baiklah kita lihat lagi arah pembicaraan kita. Buku teks. Beberapa kali pusat perbukuan mengadakan penilaian pada buku teks. Semestinya dengan penilaian ini dihasilkan buku-buku yang terstandar. Artinya, mestinya takapalah jika buku-buku ini dijadikan acuan dalam menyusun kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Namun, pikiran pesimis saya bertanya, benarkah ini sudah dilakukan sebagaimana yang kita inginkan?. Baiklah buang pikiran pesimis ini. Ada pertanyaan yang lebih penting, bagaimana dengan pengawasan buku yang ada di pasar? Bagaimana kecenderungan pemilihan buku untuk menjadi buku teks yang digunakan di sekolah? Takperlu kita bicarakan segi bisnisnya tetapi hal yang perlu kita pedulikan adalah seperti yang dijelaskan di atas, semakin kompleks dan rumit pengetahuan yang diberikan, akan semakin tinggi nilai preferensinya. Itu dia!
Hal yang lebih perlu kita perhatikan adalah LKS. Media ini seperti majalah semesteran. Pusat perbukuan pun tak menangani masalah ini. Bahkan juga tidak ada tekanan pada pihak manapun untuk tidak menggunakannya. Media ini jauh lebih bebas tumbuh tanpa batasan. Seolah-olah pusat perbukuan salah bidik karena justru media ini lebih banyak digunakan di sekolah daripada buku teks yang telah dengan mahal dinilai di pusat perbukuan.
Benar, LKS memang tidak ada yang mengawasi. Bahkan kita baru ribut jika suatu masalah sudah diangkat di televisi nasional. Tapi takpernah ribut jika anak kita dicekoki oleh pengetahuan yang seharusnya bukan bagian mereka. Malah,  orang tua menyebut anaknya bodoh jika tak mampu menghafalnya.
Salahkah orang tua? Jika kita orang tua murid, pasti tahu jawabannya. Bukan masalah salah atau tidak salah, tetapi masalahnya adalah apa yang bisa kita lakukan pada ketakutan kita,  bahwa anak kita tidak dapat mengerjakan ujian akhir nasional dengan pertanyaan seperti itu!
Satu pemikiran sederhana yang muncul adalah, pangkas saja pelajaran IPA dan IPS pasti masalahnya selesai! Semudah itukah? Sepertinya kita melihat bahwa pengaliasan mata pelajaran sebagai materi kognisi sudah mendarah daging. Apapun pelajarannya, maka akan muncul buku teks dan LKS yang akan membeberkan sejumlah fakta yang dimaknai sebagai bahan hafalan untuk otak anak kita. Takkah kita takut justru pelajaran seperti budi pekerti dan pendidikan karakter menjelma, turun derajatnya menjadi kalimat-kalimat klise yang dihafal.